Rabu, 01 Agustus 2012

Lentera Padam (A Piece of Novel)


Disebuah sudut kota itu aku menunggu. Menunggu sebuah pesan yang sudah lama telah kunantikan. Sepucuk surat dari Ellyn. Kekasih sekaligus sahabat ku. 

Sudah hampir tujuh tahun setelah peristiwa kebakaran itu. Kami tidak pernah bertemu lagi. Ketika kami mulai menjalin asmara diantara banyak nya tembok yang membentang diantara hubungan kami. Tembok itulah yang memisahkan kami. Hingga pukul 11 malam sekarang dan aku tetap menunggu. Meskipun aku tahu bahwa ini sudah kelewat jam normal dan pak pos pun tak mungkin datang juga. Tapi aku yakin bahwa surat itu akan datang jua membawa goresan pena terakhir bersama kekasih ku Ellyn. Sebuah angin segar dan aku yakin akan tiba saat nya. Setiap hari perayaan Imlek dan dibawah lentera ini aku akan terus menunggu Ellyn.

Kring-kring….. Aku kaget dan kusangka yang datang itu adalah pak pos. Ternyata hanya seorang penjual sayur yang hendak menyuruhku beranjak dari situ karena pasar akan mulai digelar. Tak mungkin juga Pak pos berkeliling malam-malam begini. Lamunan ku bubar. Aku harus menyadari bahwa pagi sebentar lagi mulai datang dan aku harus kembali ke rumah jahit.

Sebagai anak dari hanya seorang tukang jahit asongan aku menyadari hidup keluarga ku serba kesulitan. Aku hanya seorang anak yatim yang hingga saat ini aku harus membantu ibu ku menjahit demi menafkai hidup kami. Bersama seorang adik perempuan. Ibuku pandai menjahit. Keahlian itu didapat dari ibuku dari semasa mudanya dia pernah mengikuti sekolah menjahit. Bagus sekali jahitannya. Tapi sayang, hanya karena penampilan kami kusam dan miskin, kadang seenaknya saja mereka membayar jahitan ibuku. Ingin kumaki, tapi apa daya. Kami hanya manusia kecil. Sementara ibu ku sendiri hanya pasrah dengan keadaan setelah kepergian ayah ku. Sudah sebelas tahun semenjak ayahku meninggal. Semuanya berubah. Aku hidup dengan benang-benang ini. Namun, kami sendiri, tidak memiliki benang-benang itu.

“Han, tolong antarkan dua setel pakaian ini ke alamat Ny. Liana. Pelanggan baru kita. Katakan padanya untuk tidak segan-segan pesan jahitan lagi pada ibu.” Pesan ibuku.

Ketika aku akhirnya menemukan alamatnya, aku sapa penghuni rumah itu. Tak sengaja yang keluar dari pintu rumah besar itu adalah seorang gadis. Cantik sekali. Baru pertama aku melihatnya. Mengenakan kain sutra merah dan sepatu yang sangat cantik pula. Secantik gadis itu. Sesuai pesan ibu, ku kasihkan jahitannya dan dia memberiku uang. Sangat baik Ny. Liana ini rupanya hingga dia memperkenalkan aku dengan gadis itu. Anak semata wayangnya, Ellyn.

“Jadi, Handoko namamu! Datanglah kau sejenak jika ada waktu untuk menemani Ellyn jalan-jalan disekitar sini. Kebetulan kami baru saja pindah dari Bogor. Keberatankah kau?” Tanya Ny. Liana kepada ku. Tentu saja aku senang sekali dan ku jawab: “Dengan senang hati Ny. Liana, tapi setelah saya membantu ibu saya. Mungkin sore saya baru bisa.” Lanjut Ny. Liana: “Terserah Han, mau datang kapan saja. Pintu rumah kami selalu terbuka untuk Han.”

Dalam perjalanan pulang, aku merasa senang sekali. Tidak menyangka akan ada orang dari kalangan atas seperti keluarga Ny. Liana yang mau menyambut dengan baik aku anak pribumi. Tentunya dengan sangat senang aku akan kerumahnya dan berteman dengan Ellyn.
Hingga esok harinya, disaat aku sudah menyelesaikan semua pekerjaan ku hari itu. Seperti janjiku sore itu aku datang ke rumah Ny. Liana untuk menemui Ellyn. Sore itu kuajak dia ketempat alun-alun dengan banyaknya pedagang asongan yang jualan disitu. Banyak jajanan enak termasuk gula-gula yang ternyata disukai Ellyn. Aku hanya bisa membelikan sebuah gula-gula merah untuk Ellyn. Itupun hasil pemberian ibuku karena hari ini lumayan banyak hasil jahitan ibuku.

Sudah petang rupanya dan aku antar Ellyn untuk segera pulang ke rumahnya. Tentunya besok kami akan berjumpa lagi dan aku sudah menentukan akan kuajak kemana dia. Sesampai dirumah rupanya ibuku sedang ada tamu. Dan tak kusangka tamu itu adalah Pak Ismail. Setiap hari Senin sebelum kami melunasi semua hutang kepadanya dia akan datang terus ke rumah kami. Menagih hutangnya. Setahun yang lalu ibuku terpaksa memimjam uang padanya untuk membeli mesin jahit dan itupun adalah mesin jahit rongsokan yang hanya mesinnya saja yang dapat berjalan dan secara sedikit demi sedikit aku memperbaikinya.

Malam itu, ibuku bisa membayar tagihan. Bisa melewati sehari dari cacian Pak Ismail. Entah sampai kapan. Aku pun tidak pernah berani untuk menjawab hal ini. Karena beginilah kondisi kami sekarang dan aku hanya bisa berdoa dan membantu ibuku.

Pagi hari ini telah datang rupannya, aku masih teringat dengan Ellyn. Semuannya masih tampak jelas. Cantik, baik, dan dia tahu menempatkan dirinya sebagai seorang gadis. Dan yang membuat bahwa aku berani hingga saat ini untuk berjalan dengan nya adalah sikap dia. Dengan tegasnya dia mengatakan bahwa tidak ada perbedaan diantara kita. Dan masih kuingat terakhir saat kuantarkan dia pulang adalah dia senang sekali berteman dengan ku. Hal itulah yang membuat ku hingga saat ini bangga untuk bersahabat dengan dia. Aku hanya bisa berharap bahwa hubungan persahabatan ini akan terus berjalan. Meski aku sadar bahwa hal ini tidak berjalan lama.

Seperti biasa dipagi itu, aku harus mengantarkan adik ku ke sekolah. Lumayan jauh sekitar 2 kilometer dari rumah kami. Maklumlah ibuku hanya dapat menyekolahkan adik ku ke sekolah yang amat sederhana. Meski jarak lumayan jauh dari rumah kami. Dan aku merelakan diriku untuk tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan. Hanya demi adik ku. Biarlah bagiku. Dengan nasib dan kondisi kami saat ini. Aku lebih mementingkan pendidikan adik ku dan akan lebih baik begitu. Disamping aku harus membantu ibuku menjahit. Sambil ku kayuh sepeda ini dan setelahnya aku mesti mengantarkan ibuku untuk membeli benang dan kain buat menjahit. Sebuah sepeda yang sudah menemani hari-hari ku selama tiga tahun ini.

Usia ku 17 tahun saat itu dan Ellyn 15 tahun. Namun, perasaan yang tumbuh secara dewasa mulai ada diantara kali. Sore hari pun tiba dan aku beranjak untuk berangkat ke rumah Ellyn. Sepertinya dia sudah siap didepan rumahnya untuk menunggu kedatangan ku dan menunggu petualangan apalagi yang akan aku lakukan dengannya. Sesuai rencana ku tadi pagi. Aku mengajaknya untuk menyusuri kota Surabaya dengan jalan-jalan di sepanjang jembatan merah.

Sore itu adalah saat yang sangat tepat karena ada festival kembang api yang sangat meriah. Meramaikan suasana sekitar jembatan merah. Tak kerasa akhirnya ayunan sepeda ku berhenti di tepi jembatan merah. Kami menghabiskan waktu sepanjang sore itu disana dan membicarakan berbagai petualangan serta imajinasi kami. Hingga secara tak sengaja surya yang mulai tenggelam itu menyinari wajahnya yang cantik itu, Ellyn. Aku tidak menginginkan hal ini terjadi. Perasaan yang lebih dari sekedar sahabat dan sudah cukup bagiku hanya dengan status itu. Hingga persahabatan kami terus berlangsung selama hampir dua tahun dengan perasaan yang hanya bagiku seorang sahabat saja.

Tembok pemisah antara kita terlalu jauh dan sudah cukup jelas dimulai dari lingkungan sekitar kami. Bahkan meski kita hanya berteman, sudah banyak gonjang-ganjing yang membicarakan persahabatan kita. Dari sepupu Ellyn sendiri misalnya ketika singgah ke rumah nya dan ketika aku seperti biasa menjemputnya untuk mengajaknya jalan-jalan. Sindiran yang langsung jelas ditujukan ke aku adalah bahwa aku manusia rendahan yang tidak pantas untuk bergaul dengan kaumnya. Mungkin perasaan marah dan kesal ada waktu itu, tapi aku benar-benar menyadari posisiku dan siapa aku. Hanya seorang bocah pribumi dan sebagai anak dari tukang jahit. Hinga Ellyn memegang tangan ku dengan sangat kuat dan memberi isyarat untuk beranjak dari rumahnya.

Namun, perasaan itu begitu kuat dan bergejolak dihatiku. Hingga muncul sebuah pertanyan apakah selama ini aku benar-benar pantas berjalan dengan Ellyn meski hanya sebatas sahabat? Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Tak kuasa aku dengan pertanyaan-pertanyaan itu karena hubungan ini sudah terlalu jauh dan selama ini di hatiku hanya ada sebuah ikatan antara dua anak manusia tanpa menyadari bahwa selama ini kami mempunyai tembok pemisah yang amat besar.

Didekat persimpangan jalan di dekat jembatan merah, tepatnya di bawah lentera merah yang sudah menyala sore itu. Ellyn menyuruhku menghentikan kayuhan sepeda ku. Sambil berdiri mengamati sungai kalimas dan para nelayan dengan perahu-perahu kecil. Semuanya tampak sempurna dan ketika itu pula dia memegang tangan ku mengatakan bahwa “Tidak kah Han sadar bahwa selama ini aku menganggap bahwa persahabatan ini lebih hanya sekedar sahabat saja. Aku tahu mungkin perasaan ini terlalu berlebihan, tapi kebersamaan kita selama ini telah mengalahkan perasaan ku selama ini. Bahwa ada perasaan cinta dihatiku. Bukan sebatas sahabat. Sadarkah kau, Han?!”

Sungguh dalam hatiku hampir tidak percaya bahwa seorang Ellyn yang aku kira dia hanya menganggap ku sebatas sebagai seorang sahabat ternyata lebih. Aku pikir selama ini aku saja yang merasakan cinta ini. Ternyata ada nuansa cinta diantara kami.

“Gadis ku Ellyn, tidak kah kau menyadari juga bahwa sejak pertama kali aku bertemu kamu. Ketika aku melihat mu dari depan pagar rumah mu itu. Aku sudah jauh menaruh hati ku padamu. Gadis cantik yang selama ini mengisi kekosongan hari-hari ku. Kamu, Ellyn. Dan aku sepenuhnya sadar bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Sebuah hubungan yang lebih dari sekedar sahabat. Dengan hubungan kita dan aku setiap hari bisa menyaksikan senyum kecil mu itu adalah sebuah anugerah yang sudah cukup bagiku dan aku tidak mau merusak itu. meski aku sadar bahwa perasaan ku padamu lebih dari sekedar sahabat. Tapi cinta” balasku padanya.

Ellyn menambahkan “Lalu kenapa selama ini Han tidak pernah mengatakannya padaku? kenapa Han harus memperhatikan omongan mereka. Ini hanya antara kita. Bukan antara Han, aku, dan Mereka. Hanya kita.” Dibawah lentera itu telah terungkap sebuah kisah kasih diantara kita.

“Jangan lupa, dear Han. Sore hari kita mesti keperayaan imlek, y…. “ teriak Ellyn sebelum aku sempat mengayun sepeda terlalu jauh. Dan aku mencoba membalas pesan itu. Tentu saja aku tak akan pernah lupa bahwa aku akan menemani kekasih ku itu untuk merayakan Imlek yang kedua kalinya di Surabaya.

Entah kenapa hari itu kulihat ibuku sedang menantiku dan ingin bicara dengan ku. Secara lebih dekat. Tanpa kehadiran adik ku dan rupanya dia sudah tidur. 

“Han, duduklah kau disini sejenak. Ibu ingin mengobrol sedikit dengan mu. Tentang kau dan Ellyn. Tidak kah kau berusaha menyudahi hubungan kalian itu. Sadar kah kau selama ini bahwa kita hanya orang biasa dan hanya seorang anak tukang jahit. Dan kita dari suku berbeda. Cuma orang pribumi biasa. Akankah lebih baik kau bilang saja pada Ellyn bahwa kau tidak bisa berteman lagi dengannya. Biarlah ibu yang akan mengantarkan pesanan jahit pada keluarga itu” tegur ibuku pada ku saat itu.

“Kenapa ibu menanyakan hal itu? Apakah salah kami sehingga kami mesti berjauhan. Dan sadarkah ibu bahwa aku telah menaruh hatiku buat Ellyn seorang. Kami lebih dari sekedar sahabat. Begitupun Ellyn. Apakah hanya karena kami berasal dari suku yang berbeda, golongan berbeda maka kami tidak diperbolehkan untuk bergaul. Biarlah orang mengomong seenaknya saja. Ini antara aku dan Ellyn. Bukan tentang kami dengan orang lain. Dan selama ini hubungan kami berjalan secara baik-baik.” Kataku.

Ibuku menambahkan :”Nak tidak kah kau sadar akan dirimu. Ibu hanya mengingkan yang terbaik buat mu dan tau lah kau akan kondisi kita ini. Hanya orang biasa dan janganlah han mencari perkara diluar. Kita hanya orang biasa.”

Aku hanya menganggukkan dan segera kutinggal ibuku dengan perasaan hampa. Aku sadar bahwa ibuku dengan sepenuhnya percaya kepadaku. Sebagai seorang anak lelaki dan mungkin sebagai pengganti almarhum ayahku. Memang ada benarnya kata-kata ibuku. Jurang pemisah antara aku dan Ellyn sangat jauh ditambah lagi dengan statusku sebagai seorang anak penjahit. Tentu semuannya akan membuat hidup ku berubah. Penat rasanya dan segera kutinggalkan saja dalam lelap tidurku.

Hari ini adalah hari yang telah kunanti. Sudah banyak rupanya orang yang telah siap meramaikan suasana perayaan imlek tahun ini. Tiba-tiba aku menabrak seorang pedagang sayur ketika aku hendak menyeberang jalan. Perasaan ku bercampur aduk kala itu. Seakan ada sesuatu yang datang menghampiri. Entah apa itu.

Sore telah tiba dan kini saatnya aku bersiap diri menjemput kekasih ku itu. Tidak seperti biasanya, sore itu Ellyn tak tampak sedang menunggu ku didepan pintu pagar rumahnya seperti biasanya. “Nak, ada titipan surat dari Nona Ellyn” kata salah satu pembantu Ny. Liana. “Kemanakah dia,bi?” kataku. “Tidak kah kau tahu bahwa pagi ini keluarganya telah pindah ke Medan. Kembali ketanah asalnya. Karena ada keperluan mendadak. Entah sampai kapan. Hanya surat ini yang dititipkan Nona Ellyn pada saya.” lanjutnya.

Segera kubuka dan baca surat itu. Isinya dalah bahwa Ellyn sudah tidak bisa lagi tinggal di Surabaya. Kerena pabrik papanya yang di Medan telah mengalami kebakaran dan masih banyak yang mesti perlu diselesaikan. Awalnya Ellyn menolak akan ajakan itu. Demi kekasihnya tercinta. Tapi dia tidak bisa menolak. Ellyn hanya berpesan bahwa:”Tunggulah aku, Han. Disetiap perayaan imlek. Dibawah lentera tempat kita menjalin asmara. Tunggulah aku dengan suratku” pesannya.

Sunggu aku tak kuasa lagi membaca surat itu. Sakit dan pedih rasanya. Namun aku menyadari akan hal itu dengan benar bahwa mungkin kita tidak akan pernah ditakdirkan lagi untuk bertemu. Tapi sepatah pesan terakhir dari Ellyn itu. Bahwa aku harus menunggunya setiap perayaan imlek. Entah itu untuk sebuah surat atau bahkan dirinya. Aku akan tetap menunggu. Dibawah lentera.

Ditahun ke tujuh perayaan imlek itu, Ellyn tak kunjung jua datang dengan suratnya dan tak ada kabar sedikitpun. Hingga pada esok itu. Rupanya ada tamu dirumah sedang mengobrol dengan ibuku dan kupikir mungkin Pak Ismail. Tapi entah siapa itu. Adakah rentenir lain selain Pak Ismail yang datang menagih hutang kepada ibuku, tapi tidak mungkin karena seharusnya aku tahu akan hal itu.

“Pak, Han hari ini kita mendapat pesanan baju khusus kebaya tradisional China dari pelanggan baru dan meminta seminggu lagi untuk diselesaikan. Hari ini juga tepatnya jam satu siang. Pelanggan tersebut akan bertemu dengan bapak untuk memilih kain dan menjelaskan model yang sesuai” kata salah satu pegawai ku. Sekarang Han bukan lagi seorang bocah cilik dan hanya orang biasa. Semenjak kakeknya meninggal di Solo dan menyerahkan warisannya pada putri semata wayangnya yang tidak lain adalah ibuku. Handoko sejak saat itu telah membuat sebuah usaha dibidang pakaian dengan desain khusus dan usahanya tersebut kini telah berkembang pada suatu pabrik yang sudah memiliki cabang dibeberapa didaerah.

Hingga usianya yang ke empat puluh tahun ini, Handoko tetap menunggu Ellyn kekasih sekaligus sahabatnya itu. Meski harapan itu tak kunjung datang jua. Disebuah perayaan festival imlek. Dibawah lentera padam.

P.s: Sekedar cerita dan mencoba untuk menulis meski banyak salah sana sini. Semoga terhibur^^

Sukses, Sekarang juga !!

0 komentar:

Posting Komentar